Rabu, 14 Desember 2011

KARKAS TERNAK BABI


Karkas Ternak Babi

Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut dan rongga dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih yang dapat dikonsumsi oleh manusia termasuk isi rongga perut dan dada. Whittemore (1980) menyatakan, bahwa karkas babi mengandung tiga perempat bagian daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas adalah non karkas atau offal. Lawrie, (2003) mengatakan karkas merupakan bagian tubuh ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, intestin, kantong urin, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpha, hati dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri dari urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang terdiri dari tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-lain. Rata-rata bobot karkas dari domba sapi dan babi adalah masing-masing 50, 55, dan 75% dari bobot hidup.
Komponen non karkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis kelamin dan berat potong (Forrest et al., 1975). Offal terdiri dari bagian yang layak dimakan (edible-offal) yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, saluran pencernaan, ginjal dan limpa. Sedangkan tanduk, kuku, tulang, dahi atau kepala adalah termasuk bagian yang tidak layak dimakan (inedible offal). Daging sebagai komponen utama karkas, tersusun dari otot, jaringan ikat, ephitelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan lemak. Otot merupakan bagian terbesar dari karkas mengandung 75% air, 19% protein, 2,5 % lemak, 1,2% karbohidrat, 2,3% zat terlarut bukan protein dan sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak mengandung 2% protein dan 8-12% air (Seoparno, 1992). Daging babi memiliki protein yang berkualitas tinggi dengan kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap.

1. Jaringan Tulang, daging (lean) dan Lemak
Selama pertumbuhan, tulang tumbuh secara terus menerus dengan laju pertumbuhan yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat sehingga rasio otot dengan tulang meningkat (Whittmore, 1980). Selama pertumbuhan post natal tulang tumbuh lebih awal dibanding dengan pertumbuhan otot dan lemak. Pada ternak yang masih muda, rasio tulang dan otot lebih besar jika dibandingkan dengan jaringan lemak karena pada saat itu, pertumbuhan lebih diarahkan kepada jaringan tulang dan otot/lean (Lawrence, 1980).

Jaringan lean (daging tanpa lemak) merupakan komponen terbesar dari otot termasuk lean karkas dan non karkas (Whittemore, 1980). Perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur tertentu. Keterbatasan ini tidak dapat diatasi meskipun ternak tersebut diberikan pakan berkualitas tinggi, karena per-kembangan dan pertumbuhan otot tersebut diatur oleh ekspresi miogenin dalam pembentukan sel-sel otot (Pass et al.,1999). Pertambahan berat otot terjadi oleh karena terbentuknya lemak intra muscular (lemak marbling) setelah otot mengalami pertumbuhan maksimal (Soeparno, 1992).
Ternak babi merupakan ternak yang paling cepat menimbun lemak dan paling cepat diantara ternak lainnya (Miller et al., 1991). Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh ternak. Karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno,1992). Devendra dan Fuller, (1979) menyatakan, bahwa babi yang baru lahir sudah mengandung 1% lemak dari total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi 10% pada saat disapih, setelah itu menjadi 20-35% pada saat bobot badan mencapai 60-120kg. Pertambahan umur dan bobot badan ternak babi akan menyebabkan persentase lemak meningkat. Nilai heritabilitas tebal lemak punggung adalah 54% (Pass et al., 1999), tetapi Sorthose (1990) menyatakan, bahwa nilai heritabilitas penumpukan lemak pada ternak babi adalah 30-70%. Lokasi penumpukan atau deposisi lemak dalam karkas terdiri dari empat bagian yaitu di bawah kulit (subkutan), lemak internal (lemak disekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuscular dan lemak intramuscular ( lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada ke empat lokasi ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak disekitar rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling. Jaringan lemak ternak babi paling banyak disimpan dibawah kulit dibandingkan dengan sapi dan domba yang terbesar pada bagian pundak.

2. Kualitas Karkas Babi
Pengklasifikasian dan penilaian karkas sebagai bagian dari kualitas perlu dilakukan karena sangat mempengaruhi penerimaan konsumen. Penilaian terhadap kualitas karkas yang dimiliki babi perlu dilakukan karena sangat menentukan jumlah dan penyebaran daging dalam karkas. Metode pengukuran sudah banyak dilakukan diberbagai negara untuk memprediksi karkas yang beberapa telah ditemukan dan dapat dilakukan dengan praktis untuk mengklasifikasikan karkas dengan metode grading. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) telah menetapkan sebuah sistem penentuan kualitas berdasarkan nilai perdagingan, kadar lemak dan jumlah daging yang dihasilkan dari sebuah karkas. Standar pengklasifikasian karkas di Indonesia belum ada hingga saat ini.
Dalam menentukan kualitas kualitas hasil karkas (yield grade), yang dijadikan ukuran adalah (1) tebal lemak punggung, (2) luas urat daging mata rusuk, (3) persentase lemak pelvis, ginjal dan jantung, (4) bobot karkas (Forrest et al, 1975 ). Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tipe ternak, umur, kedewasaan ternak dan jumlah lemak intramuskular atau marbling. Faktor nilai karkas dapat diukur secara objektif melalui berat karkas, daging serta lemak. Holness (1991) menyatakan, bahwa kualitas karkas ditentukan berdasarkan konformasi, derajat perlemakan, dan jumlah daging dalam karkas. Karkas babi jantan kastrasi dan betina dara, diklasifikasikan berdasarkan kualitas dan hasil daging yang dihasilkan. Hasil daging diestimasi berdasarkan kombinasi rata-rata tebal lemak punggung, panjang dan persentase karkas. Tingkat perkembangan otot diestimasi secara subjektif, yaitu sangat tebal, tebal, agak tebal, agak tipis dan sangat tipis (Suparno, 1992).
Krider dan Carol (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua per tiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas dan dapat memperkirakan persentase daging dari karkas seperti Tabel 3 di bawah.

3. Sistem Pemberian Pakan dan Pemotongan Babi
Pembatasan atau pengontrolan pemberian pakan pada babi grower dan finisher sudah biasa dilakukan di Eropa. Alasan utama pembatasan ini adalah harga karkas yang tergantung dari tebal lemak punggung yang berlebihan. Keuntungan lain dari pembatasan ini adalah efisiensi penggunaan makanan dan mengurangi banyaknya makanan yang terbuang.
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian karkas dan bagian bukan karkas. Bagian karkas mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak yaitu untuk mendapatkan daging. Ada beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik (Swatland, 1984), yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak harus tidak mengalami stress, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan cara pemotongan harus (5) higienis, (6) ekonomis, (7) aman bagi pekerja abatoar (rumah tempat pemotongan hewan)

4. Persentase Karkas Babi
Bobot hidup ternak babi sangat berhubungan dengan karkas yang akan dihasilkan. Penentuan bobot potong yang optimal mempunyai hubungan yang positif dengan proporsi karkas yang akan dihasilkan (Sorparno,1992). Bobot potong yang semakin tinggi pada umumnya akan menyebabkan persentase karkas juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan organ-organ ternak babi. Produksi tulang dan organ bagian dalam akan mengalami penurunan sedangkan proporsi jaringan otot dan lemak akan mengalami peningkatan selama proses pemeliharaan hingga mencapai bobot potong (Davendra dan Fuller, 1979). Whittemore (1980) menyatakan, bahwa bobot siap potong yang paling disukai adalah antara 55-120kg. Babi menurut Ensminger (1991) dibagi dalam beberapa standar tingkat bobot yaitu: 55-64, 65-73, 74-82, 83-91, 92-100, dan 101-109kg. Menurut Blakely dan Bade (1998), bobot potong yang paling disukai oleh para pengusaha saat ini telah berubah dari bobot potong optimal sebelumnya 90-100kg menjadi 100-115kg (Miller et al.,1991). Alasan utama perubahan ini adalah karena menyangkut efisiensi dan kecenderungan produk-produk olahan daging menggunakan karkas yang lebih berat.
Komposisi tubuh babi yang mempunyai berat badan 100 kg dapat dilihat pada Gambar 1. Isi saluran pencernaan tergantung pada besarnya konsumsi sebelum ditimbang dan waktu antara pemberian makanan dan penimbangan/pengukuran. Berat karkas 73% dari berat hidup, karkas tersebut masih berisi tulang, kulit dan kaki.
Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh berat hidup dari ternak tersebut, akan tetapi dengan berat hidup yang tinggi tidak selalu menghasilkan berat karkas yang tinggi pula (Whittemore, 1980), ini disebabkan oleh adanya perbedaan berat dari kepala, darah, bulu, isi rongga perut dan isi rongga dada. Menurut Hovorka dan Pavlik (1973), babi dengan bobot hidup 90kg merupakan bobot potong optimum. Berdasarkan hasil penelitian Milli et.al. (1999), babi dengan bobot potong 90 kg menghasilkan berat karkas sebesar 62,75 kg, selanjutnya Whittemore (1980) menyatakan, bahwa kisaran berat karkas sekitar tiga per empat dari bobot potong. Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak, jenis kelamin dan kematangan seksual (Devendra dan Fuller, 1979). Bobot potong yang lebih dari 90 kg menyebabkan penampilan lemak yang berlebihan, yang mengakibatkan menurunnya kualitas karkas (Hovorka dan Pavlik, 1973). Menurut Chabra et. al.(1999), berat kepala memiliki korelasi genetik yang negatif terhadap berat karkas dan bobot potong dipengaruhi oleh umur ternak saat dilakukan pemotongan.
Istilah yang umum digunakan untuk menyatakan hasil karkas adalah persentase karkas, yaitu perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan dalam persen (Forrest,et.al 1975). Menurut Tulloh (1978), karkas yang ditimbang pada saat pemotongan disebut karkas panas, selanjutnya bila selama 24 jam atau lebih akan terjadi penyusutan bobot akibat penguapan dipermukaan karkas yang berkisar 1-3% tergantung dari lamanya penyimpanan.
Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas (segar) atau karkas layu (dingin) (Forrest et al., 1975), sehingga terjadi penyusutan bobot sekitar 2-3% dari bobot karkas panas yang hilang sebagai drip (Romans dan Ziegler, 1974). Menurut Soeparno (1992), kehilangan bobot ini relatif lebih besar pada karkas yang mempunyai lemak eksternal lebih sedikit daripada belahan karkas yang besar dan mempunyai lemak eksternal yang lebih banyak. Karkas babi, karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif, maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam), tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan walaupun pelayuan ini akan memberikan peningkatan keempukan dan flavor daging.
Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong (Forrest et al., 1975), dinyatakan pula dengan meningkatnya persentase lemak karkas menyebabkan persentase otot dan tulang menurun. Persentase karkas normal berkisar antara 60-75% dari berat hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade, 1998).

5. Tebal Lemak Punggung dan LEA Babi
Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh Hazel dan Kline yang dilaporkan Hendrick (1983) dengan alat yang disebut “back fat probe”. Setelah itu sangat meluas penggunaannya maupun perkembangan teknologi peralatannya. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi persentase hasil daging yang tinggi dan sebaliknya tebal lemak punggung yang tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968 lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan kelas karkas dari babi siap potong.
Disamping sifat perdagingan tersebut diatas seperti dilaporkan Hendrick (1983) kualitas daging erat juga hubungan terhadap ukuran luas penampang otot longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut Urat Daging Mata Rusuk diukur diantara tulang rusuk ke 10 dan 11. Urat daging mata rusuk (Udamaru) berhubungan erat dengan jumlah perototan karkas dan luasan penampang tersebut mengandung lemak intramuskular (marbling) yang berpengaruh terhadap keempukan daging. Miller, et.al (1991) mengatakan faktor genetik sangat mempengaruhi urat daging mata rusuk dimana nilai heritabilitasnya pada ternak babi adalah 40-60%, sedangkan menurut Whittemore (1980) berkisar antara 30-50% dan tergolong tinggi. Sifat baka dengan heritabilitas tinggi, penting artinya dalam menunjang produksi dan sebagai bibit. Sifat demikian juga sebagai petunjuk, bahwa faktor genetis berperan sekali dalam menghasilkan babi siap potong dengan luas penampang urat daging mata rusuk yang tingg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar