Karkas Ternak Babi
Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan
pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut dan rongga
dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih
yang dapat dikonsumsi oleh manusia termasuk isi rongga perut dan dada.
Whittemore (1980) menyatakan, bahwa karkas babi mengandung tiga perempat bagian
daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas adalah non
karkas atau offal. Lawrie, (2003) mengatakan karkas merupakan bagian tubuh
ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan,
intestin, kantong urin, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpha, hati dan
jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas
terdiri dari urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang terdiri
dari tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-lain.
Rata-rata bobot karkas dari domba sapi dan babi adalah masing-masing 50, 55,
dan 75% dari bobot hidup.
Komponen non karkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis
kelamin dan berat potong (Forrest et al., 1975). Offal terdiri dari bagian yang
layak dimakan (edible-offal) yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak,
saluran pencernaan, ginjal dan limpa. Sedangkan tanduk, kuku, tulang, dahi atau
kepala adalah termasuk bagian yang tidak layak dimakan (inedible offal). Daging
sebagai komponen utama karkas, tersusun dari otot, jaringan ikat, ephitelial,
jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan lemak. Otot merupakan bagian terbesar
dari karkas mengandung 75% air, 19% protein, 2,5 % lemak, 1,2% karbohidrat,
2,3% zat terlarut bukan protein dan sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak
mengandung 2% protein dan 8-12% air (Seoparno, 1992). Daging babi memiliki
protein yang berkualitas tinggi dengan kandungan asam-asam amino esensial yang
lengkap.
1. Jaringan Tulang,
daging (lean) dan Lemak
Selama pertumbuhan, tulang tumbuh secara terus menerus dengan
laju pertumbuhan yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat
sehingga rasio otot dengan tulang meningkat (Whittmore, 1980). Selama
pertumbuhan post natal tulang tumbuh lebih awal dibanding dengan pertumbuhan
otot dan lemak. Pada ternak yang masih muda, rasio tulang dan otot lebih besar
jika dibandingkan dengan jaringan lemak karena pada saat itu, pertumbuhan lebih
diarahkan kepada jaringan tulang dan otot/lean (Lawrence, 1980).
Jaringan lean (daging tanpa lemak) merupakan komponen terbesar
dari otot termasuk lean karkas dan non karkas (Whittemore, 1980). Perkembangan
otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur tertentu.
Keterbatasan ini tidak dapat diatasi meskipun ternak tersebut diberikan pakan
berkualitas tinggi, karena per-kembangan dan pertumbuhan otot tersebut diatur
oleh ekspresi miogenin dalam pembentukan sel-sel otot (Pass et al.,1999).
Pertambahan berat otot terjadi oleh karena terbentuknya lemak intra muscular
(lemak marbling) setelah otot mengalami pertumbuhan maksimal (Soeparno, 1992).
Ternak babi merupakan ternak yang paling cepat menimbun lemak
dan paling cepat diantara ternak lainnya (Miller et al., 1991). Lemak akan
ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh ternak. Karkas ternak dewasa
dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno,1992). Devendra dan Fuller,
(1979) menyatakan, bahwa babi yang baru lahir sudah mengandung 1% lemak dari
total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi 10% pada saat disapih, setelah
itu menjadi 20-35% pada saat bobot badan mencapai 60-120kg. Pertambahan umur
dan bobot badan ternak babi akan menyebabkan persentase lemak meningkat. Nilai
heritabilitas tebal lemak punggung adalah 54% (Pass et al., 1999), tetapi
Sorthose (1990) menyatakan, bahwa nilai heritabilitas penumpukan lemak pada
ternak babi adalah 30-70%. Lokasi penumpukan atau deposisi lemak dalam karkas
terdiri dari empat bagian yaitu di bawah kulit (subkutan), lemak internal
(lemak disekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuscular dan lemak
intramuscular ( lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada ke empat lokasi
ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak disekitar
rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling.
Jaringan lemak ternak babi paling banyak disimpan dibawah kulit dibandingkan
dengan sapi dan domba yang terbesar pada bagian pundak.
2. Kualitas Karkas Babi
Pengklasifikasian dan penilaian karkas sebagai bagian dari
kualitas perlu dilakukan karena sangat mempengaruhi penerimaan konsumen.
Penilaian terhadap kualitas karkas yang dimiliki babi perlu dilakukan karena
sangat menentukan jumlah dan penyebaran daging dalam karkas. Metode pengukuran
sudah banyak dilakukan diberbagai negara untuk memprediksi karkas yang beberapa
telah ditemukan dan dapat dilakukan dengan praktis untuk mengklasifikasikan
karkas dengan metode grading. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) telah
menetapkan sebuah sistem penentuan kualitas berdasarkan nilai perdagingan,
kadar lemak dan jumlah daging yang dihasilkan dari sebuah karkas. Standar
pengklasifikasian karkas di Indonesia belum ada hingga saat ini.
Dalam menentukan kualitas kualitas hasil karkas (yield grade),
yang dijadikan ukuran adalah (1) tebal lemak punggung, (2) luas urat daging
mata rusuk, (3) persentase lemak pelvis, ginjal dan jantung, (4) bobot karkas
(Forrest et al, 1975 ). Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan
oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Nilai karkas
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tipe ternak, umur, kedewasaan ternak
dan jumlah lemak intramuskular atau marbling. Faktor nilai karkas dapat diukur
secara objektif melalui berat karkas, daging serta lemak. Holness (1991)
menyatakan, bahwa kualitas karkas ditentukan berdasarkan konformasi, derajat
perlemakan, dan jumlah daging dalam karkas. Karkas babi jantan kastrasi dan
betina dara, diklasifikasikan berdasarkan kualitas dan hasil daging yang
dihasilkan. Hasil daging diestimasi berdasarkan kombinasi rata-rata tebal lemak
punggung, panjang dan persentase karkas. Tingkat perkembangan otot diestimasi
secara subjektif, yaitu sangat tebal, tebal, agak tebal, agak tipis dan sangat
tipis (Suparno, 1992).
Krider dan Carol (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak
punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena
dua per tiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Tebal
lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas dan
dapat memperkirakan persentase daging dari karkas seperti Tabel 3 di bawah.
3. Sistem Pemberian Pakan
dan Pemotongan Babi
Pembatasan atau pengontrolan pemberian pakan pada babi grower
dan finisher sudah biasa dilakukan di Eropa. Alasan utama pembatasan ini adalah
harga karkas yang tergantung dari tebal lemak punggung yang berlebihan.
Keuntungan lain dari pembatasan ini adalah efisiensi penggunaan makanan dan mengurangi
banyaknya makanan yang terbuang.
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian karkas dan bagian bukan karkas. Bagian karkas mempunyai nilai ekonomi
yang lebih tinggi, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak yaitu untuk mendapatkan
daging. Ada beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik
(Swatland, 1984), yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2)
ternak harus tidak mengalami stress, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah
harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan
cara pemotongan harus (5) higienis, (6) ekonomis, (7) aman bagi pekerja abatoar
(rumah tempat pemotongan hewan)
4. Persentase Karkas Babi
Bobot hidup ternak babi sangat berhubungan dengan karkas yang
akan dihasilkan. Penentuan bobot potong yang optimal mempunyai hubungan yang
positif dengan proporsi karkas yang akan dihasilkan (Sorparno,1992). Bobot
potong yang semakin tinggi pada umumnya akan menyebabkan persentase karkas juga
meningkat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan organ-organ ternak
babi. Produksi tulang dan organ bagian dalam akan mengalami penurunan sedangkan
proporsi jaringan otot dan lemak akan mengalami peningkatan selama proses
pemeliharaan hingga mencapai bobot potong (Davendra dan Fuller, 1979).
Whittemore (1980) menyatakan, bahwa bobot siap potong yang paling disukai
adalah antara 55-120kg. Babi menurut Ensminger (1991) dibagi dalam beberapa
standar tingkat bobot yaitu: 55-64, 65-73, 74-82, 83-91, 92-100, dan 101-109kg.
Menurut Blakely dan Bade (1998), bobot potong yang paling disukai oleh para
pengusaha saat ini telah berubah dari bobot potong optimal sebelumnya 90-100kg
menjadi 100-115kg (Miller et al.,1991). Alasan utama perubahan ini adalah
karena menyangkut efisiensi dan kecenderungan produk-produk olahan daging
menggunakan karkas yang lebih berat.
Komposisi tubuh babi yang mempunyai berat badan 100 kg dapat
dilihat pada Gambar 1. Isi saluran pencernaan tergantung pada besarnya konsumsi
sebelum ditimbang dan waktu antara pemberian makanan dan
penimbangan/pengukuran. Berat karkas 73% dari berat hidup, karkas tersebut
masih berisi tulang, kulit dan kaki.
Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh berat hidup dari ternak
tersebut, akan tetapi dengan berat hidup yang tinggi tidak selalu menghasilkan
berat karkas yang tinggi pula (Whittemore, 1980), ini disebabkan oleh adanya
perbedaan berat dari kepala, darah, bulu, isi rongga perut dan isi rongga dada.
Menurut Hovorka dan Pavlik (1973), babi dengan bobot hidup 90kg merupakan bobot
potong optimum. Berdasarkan hasil penelitian Milli et.al. (1999), babi dengan
bobot potong 90 kg menghasilkan berat karkas sebesar 62,75 kg, selanjutnya
Whittemore (1980) menyatakan, bahwa kisaran berat karkas sekitar tiga per empat
dari bobot potong. Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat interaksi
antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak, jenis
kelamin dan kematangan seksual (Devendra dan Fuller, 1979). Bobot potong yang
lebih dari 90 kg menyebabkan penampilan lemak yang berlebihan, yang
mengakibatkan menurunnya kualitas karkas (Hovorka dan Pavlik, 1973). Menurut
Chabra et. al.(1999), berat kepala memiliki korelasi genetik yang negatif
terhadap berat karkas dan bobot potong dipengaruhi oleh umur ternak saat dilakukan
pemotongan.
Istilah yang umum digunakan untuk menyatakan hasil karkas adalah
persentase karkas, yaitu perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong
yang dinyatakan dalam persen (Forrest,et.al 1975). Menurut Tulloh (1978),
karkas yang ditimbang pada saat pemotongan disebut karkas panas, selanjutnya
bila selama 24 jam atau lebih akan terjadi penyusutan bobot akibat penguapan
dipermukaan karkas yang berkisar 1-3% tergantung dari lamanya penyimpanan.
Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas
panas (segar) atau karkas layu (dingin) (Forrest et al., 1975), sehingga
terjadi penyusutan bobot sekitar 2-3% dari bobot karkas panas yang hilang
sebagai drip (Romans dan Ziegler, 1974). Menurut Soeparno (1992), kehilangan
bobot ini relatif lebih besar pada karkas yang mempunyai lemak eksternal lebih
sedikit daripada belahan karkas yang besar dan mempunyai lemak eksternal yang
lebih banyak. Karkas babi, karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah
mengalami proses ransiditas oksidatif, maka pelayuan yang lama (misalnya lebih
dari 24 jam), tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan walaupun pelayuan
ini akan memberikan peningkatan keempukan dan flavor daging.
Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot
potong (Forrest et al., 1975), dinyatakan pula dengan meningkatnya persentase
lemak karkas menyebabkan persentase otot dan tulang menurun. Persentase karkas
normal berkisar antara 60-75% dari berat hidup. Persentase ini lebih tinggi
pada babi dibandingkan dengan ternak lain seperti domba dan sapi karena babi
tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta babi mempunyai lambung
tunggal (Blakely dan Bade, 1998).
5. Tebal Lemak Punggung
dan LEA Babi
Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun
1952 oleh Hazel dan Kline yang dilaporkan Hendrick (1983) dengan alat yang
disebut “back fat probe”. Setelah itu sangat meluas penggunaannya maupun
perkembangan teknologi peralatannya. Ukuran tebal lemak punggung secara
langsung menggambarkan produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi
yang tipis memberi persentase hasil daging yang tinggi dan sebaliknya tebal
lemak punggung yang tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah.
Sejak tahun 1968 lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara
dalam penentuan kelas karkas dari babi siap potong.
Disamping sifat perdagingan tersebut diatas seperti dilaporkan
Hendrick (1983) kualitas daging erat juga hubungan terhadap ukuran luas
penampang otot longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut Urat
Daging Mata Rusuk diukur diantara tulang rusuk ke 10 dan 11. Urat daging mata
rusuk (Udamaru) berhubungan erat dengan jumlah perototan karkas dan luasan
penampang tersebut mengandung lemak intramuskular (marbling) yang berpengaruh
terhadap keempukan daging. Miller, et.al (1991) mengatakan faktor genetik
sangat mempengaruhi urat daging mata rusuk dimana nilai heritabilitasnya pada
ternak babi adalah 40-60%, sedangkan menurut Whittemore (1980) berkisar antara
30-50% dan tergolong tinggi. Sifat baka dengan heritabilitas tinggi, penting
artinya dalam menunjang produksi dan sebagai bibit. Sifat demikian juga sebagai
petunjuk, bahwa faktor genetis berperan sekali dalam menghasilkan babi siap
potong dengan luas penampang urat daging mata rusuk yang tingg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar